Ancaman Politik Uang Bagai Virus Pandemi
Aksi Pengawasan Partisipatif Pemilu Harus Lebih Bernyali

ilustrasi (foto:google)
Pemilu masih 1 tahun lagi, tetapi suasana sudah mulai merangkak hangat. Mengamati perbincangan orang-orang di warung kopi kelas kampung tentang politik uang, terkadang lebih menarik dan berisi ketimbang duduk dalam forum seminar yang orang-orang pintar dengan narasi yang rada susah untuk dipahami.
Mengapa tidak, orang-orang yang tinggal di pedesaan bahkan pinggiran kota misalnya, mereka adalah para pemilih disetiap ajang Pemilu dan Pilkada yang sering berhadapan dengan orang-orang asing yang tiba-tiba berkunjung ke desa mereka. Mendadak SKSD (sok kenal sok dekat) bahkan mendadak dermawan.
Has (55 tahun) salah seorang tokoh masyarakat desa di Kota Langsa, kepada penulis mengatakan bahwa “ masyarakat pemilih kini semakin lama semakin pintar.., sebagian pemilih terlanjur nikmat dengan ‘candu saweran’ yang diumbar oleh para calon dan tim kampanye agar memilih calonnya pada saat pencoblosan Pemilu dan Pilkada..” ungkapnya.
Sosok Has juga menceritakan, “ saat kampanye Pemilu 2019 lalu misalnya, didepan mata saya , kerumunan warga desa tidak segan-segan berteriak ‘Nomor Piro Wani Piro’ , disambut dengan sorak sorai dan tepuk tangan , malah saya sendiri pernah dibisikin oleh seseorang, kalo mau jadi Caleg DPRK Pemilu nanti (2024) harus siapkan ongkos 500 Juta..” ucapnya dengan wajah geram.
Mengutip berita pada laman bireuen. bawaslu. go. id, adanya dugaan politik uang yang dilakukan seorang terduga Tim Sukses dari satu Caleg di Kabupaten Bireun-Aceh, Panwaslih Bireuen berhasil amankan uang 1,4 juta rupiah sebagai barang bukti politik uang, yang mana uang tersebut rencananya akan dibagi-bagikan sebesar 100 ribu rupiah perorang oleh pelaku kepada calon pemilih pada pemilu 2019 lalu.
Ini adalah salah satu contoh kasus politik uang yang terekpose, bisa jadi masih banyak kasus serupa lainnya yang tidak tertangkap pengawas pemilu, karena politik uang itu tidak harus transaksi dalam bentuk uang, tidak pula harus memberi, menjanjikannya saja sudah termasuk pebuatan melawan hukum sebagaima disebut dalam UU Pemilu.
Semakin Membumi
Fenomena Politik Uang yang sudah lama tumbuh subur dalam sistem sosial kemasyarakatan kita ini ibarat penyakit kulit ( panu ) yang menjalar hampir ke sekujur badan, bahkan kian menebal, bagaimana lagi harus diobati ? apakah harus dikuliti tubuhnya ? tapi tidak mungkin juga bila dibiarkan berketerusan.
Bila kita perhatikan gejalanya di masyarakat pedesaaan, misalnya, lebih banyak yang suka dengan politik uang ini ketimbang masyarakat yang menolaknya. Bahkan bisa jadi orang yang menolak politik uang, akhirnya menerima juga dengan dalil menyesatkan ambil uangnya jangan pilih orangnya, terima bantuannya abaikan calonnya.
Demikian pula bila ada gerakan masyarakat yang anti politik uang di desa, boleh jadi mereka dibully masyarakat lainnya karena dianggap penghambat. Karena mereka yang mendukung politik uang ini beranggapan inilah waktunya yang ditunggu-tunggu untuk menghimpun para donatur dan dermawan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan infrastruktur di desanya. Walau kenyataannya belum tentu seperti itu.
Sekilas Sanksi Praktik Politik Uang Dalam UU
Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ,pada Pasal 515 menyatakan :
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta “.
Selanjutnya dalam Pasal 523 menyebutkan :
Ayat (1) “Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dlm pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Ayat (2) “Setiap pelaksana, peserta dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah)”.
Ayat (3) “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Sedangkan dalam Undang-Undang Pilkada , UU Nomor 6 tahun 2020 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang pada Pasal 73 menyatakan :
Ayat (1) “Calon dan/ atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/ atau pemilih”.
Ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Prov atau KPU Kab/Kota”.
Ayat (3) “Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ayat (4) “Selain calon atau pasangan calon, Anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan , atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk :
a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih.
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan
c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu”.
Dan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A menyebutkan :
Ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000. (satu milyar rupiah)”.
Ayat (2) “Pidana yang sama diterapkan kepada Pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Politik Uang yang dimaksudkan UU tersebut, berpeluang terjadi dalam rentang waktu pada saat kampanye, pada masa tenang, pada hari pemungutan suara , bahkan pada saat pemungutan suara berlangsung .
Dalam UU Pemilu No 7 tahun 2017 yang memuat aturan pemilihan Calon Anggota DPR, DPD , Presiden/Wakil Presiden dan Anggota DPRD, ancaman sanksi maksimal antara 2-4 tahun penjara dengan denda 24-48 juta Rupiah, pihak yang diancan sanksi adalah pihak yang menjanjikan / pemberi.
Sedangkan dalam UU Pilkada No 6 tahun 2020 yang memuat aturan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan, ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dengan denda minimal 200 juta dan maksimal 1 milyar, pihak yang diancam sanksi adalah yang menjanjikan/pemberi dan penerima.
Pandangan Ahli Tentang Bentuk-Bentuk Politik Uang
Menurut Edward Aspinall & Mada Sukmajati dalam bukunya yang berjudul Politik Uang di Indonesia, menjelaskan fenomena elektoral ditingkat akar rumput, dengan salah satu strategi kampanye yang dianut oleh hampir semua peserta pemilu antara lain :
1. Pembelian suara (vote buying).Yaitu distribusi pembayaran uang tunai/ barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
2. Pemberian-pemberian pribadi (individual gifts). Untuk mendukung upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye. Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial (social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian sebagai kenang-kenangan.
3. Pelayanan dan aktivitas (services and activities). Seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Di forum ini biasanya para kandidat mempromosikan dirinya.
Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum pengajian, demo memasak, menyanyi bersama, pesta-pesta yang diselenggarakan oleh komunitas dan masih banyak lagi. Tidak sedikit kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check-up dan pelayanan kesehatan gratis.
4. Barang-barang kelompok (club goods). Pemberian untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individu, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain.
5. Pork barrel projects. Proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Banyak kandidat menjanjikan akan memberikan program-program dan proyek-proyek yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan.
Dampak Buruk Politik Uang
Mengutip tulisan Agus Riyanto, S.P, S.H. (2021) pada laman https : // semarangkab. bawaslu. go. id/ , Beberapa dampak buruk politik uang dalam membangun sebuah proses demokrasi adalah sebagai berikut :
1. Merendahkan martabat rakyat.
Para calon atau partai politik yang melakukan praktik politik uang secara tidak langsung tetapi nyata telah mejadikan rakyat hanya semata-mata sebagai pihak yang suaranya dapat dibeli, kondisi ini tentu saja merendahkan martabat rakyat yang mana disini rakyat menjadi tidak lebih hanya sebagai obyek politik.
2. Menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat secara politik.
Dengan adanya rakyat yang suaranya sudah dibeli dalam politik uang tersebut maka akan mempengaruhi kedaulatan rakyat untuk memberikan pilihan suaranya secara bebas karena sudah diikat dengan jual beli suara sehingga secara substansi rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan penuh sebagai penentu siapa pemimpin yang akan terpilih.
3. Mengubah kekuasaan politik menjadi masalah private/individu, bukan lagi masalah publik yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel. Dengan adanya praktik jual beli suara maka akan memungkinkan timbulnya kecenderungan perubahan sikap dan tanggung jawab moril seorang pemimpin yang terpilih, yang mana seorang pemimpin yang seharusnya memikirkan kesejahteraan rakyat yang merupakan tanggung jawab politik kepada publik akan bergeser menjadi sebatas persoalan individu yang memungkinkan terjadi pengabaian akibat adanya pemikiran bahwa dia telah membeli suara dari masing-masing individu rakyat.
4. Menghilangkan sikap kritis masyarakat terhadap kekuasaan. Masyarakat secara individu yang mana suaranya telah dibeli melalui proses praktik politik uang dalam pemilihan karena telah merasa menerima uang atau barang dari peserta pemilihan dalam proses pemilihan sehingga kelak akan merasa sungkan dan enggan untuk mengkritisi pemimpin yang sedang berkuasa terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan.
5. Manipulasi hubungan sosial dari hubungan yang mengandalkan trust (kepercayaan) menjadi hubungan yang transaksional. Dengan adanya politik uang akan terjadi pergeseran nilai atau pola hubungan yang semestinya dalam memilih pemimpin atas dasar kepercayaan atau atas pertimbangan bahwa pemimpin yang dipilih adalah orang yang benar dipercaya mampu mensejahterakan rakyat berubah menjadi sekedar memilih karena faktor lain yaitu karena imbalan berupa uang atau barang dan jasa yang memberikan keuntungan sesaat.
6. Menimbulkan potensi terjadinya perilaku korupsi. Dengan adanya praktik politik uang maka biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat calon pemimpin pada saat pemilihan akan membengkak sangat tinggi, hal tersebut tentunya menjadikan beban politik yang berat bagi kandidat yang mengikuti kontestasi pemilihan, sehingga pada saat terpilih dan duduk di kursi kekuasaan akan terbebani oleh persoalan individu berkaitan dengan modal politik ini yaitu persoalan bagaimana modal yang sudah dikeluarkan dapat kembali secepatnya jauh sebelum akhir periode masa jabatannya.
Ada dua potensi yang dapat timbul sebagai konsekwensi dari kondisi tersebut yaitu timbulnya kecenderungan adanya potensi perilaku korupsi yang dapat menggerogoti anggaran negara dan potensi terabaikannya nasib rakyat karena pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan lebih banyak disibukkan dengan persoalan individunya, kedua hal tersebut tentunya merupakan kerugian yang akan diderita oleh rakyat.
Upaya Pencegahan
Walaupun belum ada jurus sakti untuk menghentikan praktik politik uang yang sangat meresahkan ini , setidaknya semua elemen pemerintah dan masyarakat harus tidak boleh kehabisan cara untuk menyelamatkan proses demokrasi Indonesia agar lebih sehat dan bermartabat.
Menurut hemat penulis, upaya pencegahan politik uang dalam pemilu/pemilihan dapat ditempuh dengan cara :
1. Bangun Komitmen Peserta Pemilu dan Tim Kampanye
Membangun Komitmen peserta Pemilu dan Tim Kampanye menolak praktik Politik uang harus dituangkan dalam pakta tertulis disaksikan oleh Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu dan Bawaslu secara hirarki dari tingkat pusat hingga daerah.
2. Optimalilsasi Pengawasan Partisipatif
Pengawasan Partisipatif adalah dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat, Ormas, OKP , Mahasiswa dan pemilih pemula untuk ikut terlibat mengawasi langsung tahapan dan pelaksanaan Pemilu. Sejatinya mereka harus dibekali dan dilindungi sehingga untuk kasus politik uang mereka tidak sungkan dan takut untuk melaporkannya. Sebaran merekapun harus dipastikan ada banyak di desa-desa, sehingga bersama-sama pengawas pemilu desa/kelurahan mereka bisa berperan sebagai ‘Bio-CCTV’ di desanya pada saat-saat genting dengan berpatroli pengawasan pada saat kampanye, pada masa tenang, pada hari pemungutan suara , bahkan pada saat pemungutan suara berlangsung.
3. Mengunci Pintu Masuk ke akar rumput.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh Kepala Desa, Perangkat Desa, termasuk Ketua TP PKK Desa, Ketua Pemuda/Karang Taruna, Para Imam Desa dan Dusun, Ketua Pengajian Kaum ibu dan bapak, pengurus lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di desa, secara estafet kepada mereka disosialisasikan bahaya Praktik Politik uang berikut sanksi pidananya. Setiap selesai kelas sosialisasi, seluruh peserta tersebut wajib menandatangani Pakta Integritas menolak politik uang di atas meterai. Tentu saja gebrakan ini tidak sulit bila dilakukan bersama oleh Pemerintah Daerah bersama Bawaslu dengan Gakkumdunya.
4. Sosialilasi oleh Tokoh Agama dan Adat
Peran tokoh agama dan adat dapat menjadi efektif di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan norma agama atau adat istiadat. Seperti di Aceh misalnya, Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh nomor : 3 Tahun 2014 tentang Pemilihan Umum menurut perspektif Islam, salah satu butir keputusannya menyebutkan bahwa politik uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat tertentu hukumnya adalah haram. Artinya dalam hal ini Bawaslu Aceh dapat menggandeng Ulama-Ulama Pesantren/Dayah dan Da’i setempat untuk mensosialisasikan bahaya politik uang di tengah-tengah ummat sebagai salah satu bentuk pencegahan.
Kesimpulan
Praktik politik uang yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat setiap kali perhelatan Pemilu, sampai saat ini belum ditemukan sebuah rumusan dan cara untuk menghentikannya.
Politik uang dengan membeli suara adalah salah satu bentuk pelecehan terhadap harga diri pemilih, sayangnya banyak masyarakat pemilih yang suka bahkan memang inilah yang dinanti-nantikan pada setiap pesta pemilu.
Kasus Politik Uang sering kali tidak tertangkap tangan, tidak dilaporkan, dilaporkan tetapi tidak bisa ditindaklanjuti, dikarenakan bisa jadi pengawas desa yang bekerja sendirian itu tidak cukup data/bukti, tidak berani atau tidak enak hati karena yang jadi temuan adalah tetangga sekampungnya, tidak ada yang berkenan menjadi saksi dan laporan kejadian yang diterima telah lewat waktu/ daluarsa.
Optimalisasi Pengawasan Partisipatif dan mengunci pintu masuk ke akar rumput bisa dijadikan solusi pencegahan dini. Setidaknya sedikit melegakan hati masyarakat yang terlanjur menggantungkan harap, mungkinkah akan terwujud proses pemilu yang bersih , jujur dan adil serta sehat dan bermartabat. [Zarkasyi – Pegiat & Pemerhari Sosial , di Kota Langsa ]
-----------------------------
Refferensi :
Agus Riyanto, S.P, S.H. (2021) , https : // semarangkab. bawaslu. go. id/
Aspinall, Edward dan Sukmajati, Mada. 2015. Politik Uang di Indonesia. Jogjakarta : Polgov.
Fatwa MPU Aceh No 3 Tahun 2014
UU No 7 tahun 2017
UU No 6 tahun 2020
Editor :Tim Sigapnews