Usman Cut Raja: Mengenang Sejarah Radio Rimba Raya

Kala itu, Radio Rimba Raya mengudara dengan tiga bahasa, Urdu, Inggris dan Indonesia. Radio yang berlokasi di belantara hutan ini mengudara melalui saluran berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter.
Siaran Radio Rimba Raya disebut dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Tgk. A. K Jakobi dalam buku 'Aceh Daerah Modal' menyebutkan, Radio Rimba Raya didirikan sebagai persiapan di bidang komunikasi massa untuk menunjang program perang gerilya rakyat dalam jangka panjang. Keberadaan radio itu disebut untuk menghadapi kolonial Belanda yang kembali ingin menjajah.
"Menurut Bustanil Arifin, sebagai pelaku sejarah dalam Perang Kemerdekaan RI di daerah Aceh, ada sejumlah faktor yang mendorong pimpinan perjuangan saat itu, memandang urgensinya didirikan sebuah pemancar radio yang kuat dan mampu menjangkau pendengarnya seperti di Penang, Kuala Lumpur dan Singapura di Malaya. Sebab, kalau siaran sudah sampai di Malaya, itu berarti pesan-pesan itu telah menyebar ke seluruh dunia," tulis Jakobi.
Siaran Radio Rimba Raya awalnya dipancarkan dari Krueng Simpo, Bireuen untuk menangkal isu-isu yang disebar Belanda. 'Duel udara' Radio Rimba Raya dengan radio-radio milik Belanda di Medan, Batavia (kini Jakarta), radio Hilversium di Belanda disebut berlangsung seru.
Radio Rimba Raya kerap menamakan dirinya dengan 'Suara Indonesia Merdeka'. Debat diudara itu dipantau Kepala Perwakilan Rl di India, Dr. Sudarsono lewat radio Penang di Malaya dan meneruskannya kepada Kepala Perwakilan Rl di PBB, L.N. Palar.
Karena alasan itulah, Belanda disebut memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Rimba Raya. Akibatnya, keberadaan radio perjuangan itu kerap berpindah-pindah tempat.
"Dari desa Krueng Simpo, gubernur militer (GM) perintahkan ditarik ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Ternyata di sini pun pemancar ini tidak aman. Akhirnya diinstruksikan lagi oleh GM untuk diamankan di pegunungan Rimba Raya yang terkenal strategis dan hutan lebat yang sulit ditembus pesawat terbang Belanda," tulis Jakobi.
Pasca kemerdekaan, peninggalan perangkat milik Radio Rimba Raya disebut berada di Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Pada perangkat itu diberi keterangan, 'pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948'.(Indra G)
Read more info "Usman Cut Raja: Mengenang Sejarah Radio Rimba Raya" on the next page :
Editor :Say Indra G
Source : Masyarakat